Senin, 27 Juni 2016

CRA 3 ....




Karung 25
Saat Tangan-tangan Bertemu




Malam itu kami menginap di bale, di pelataran bawah Pura Penataran Agung Lempuyang. Dimas banyak mendongeng tentang pengalamannya selama di Bali; dia bercerita tentang kesehariannya ketika di Nagari, ketika di rumah Mas Angga, dan juga pengalaman pendakiannya di gunung Batur. Dia juga bercerita tentang penginapan Pak Martha yang, di samping terdapat beberapa “cowok cakep”, menurutnya tempat itu angker. Fandy kelihatannya tidak cemburu saat Dimas mengungkit tentang “cowok cakep”.
Ngomong-ngomong soal angker, maka aku pun—tanpa minta izin pada Fandy—menceritakan tentang kuburan di Pemuputan. Dimas dan Erik tercengang saat kubeberkan bahwa Fandy hampir kesurupan saat itu. Tapi, kemudian Dimas menyatakan bahwa sebetulnya dia tak terlalu kaget oleh bakat Fandy. Dimas bilang bahwa selama ini Fandy suka secara tak sengaja mengomongkan firasat-firasat tentang hadirnya makhluk lain. Tapi selama ini Dimas pura-pura tak merasakan firasat yang sama, sebab, selain dia sendiri takut hantu, dia khawatir Fandy akan merasa sebagai “orang aneh” jika diberi tahu soal bakatnya itu.
“Tapi, pada dasarnya aku menerima dia apa adanya,” kata Dimas.
Aku melihat Fandy tersenyum tersipu.
“Denis ditolak Misha,” tiba-tiba Fandy balas membuka aibku.
Aku ditertawakan tiga orang malam itu. Tapi karena sudah telanjur terkuak, maka kuceritakan saja kejadian itu, bahwa intinya jika saat ini ada orang yang sangat ingin kuajak berkelahi, maka itu adalah Amos.
“Aku sudah sering bilang, ‘cepat tembak saja’. Nah, sekarang sudah terlambat,” kata Dimas.
“Sebetulnya tak ada kata ‘terlambat’ selama kau mau menunggu mereka putus,” Erik menimpal.
“Nggak bisa gitulah,” kataku. “Itu hampir mirip dengan ditinggal nikah, terus kita bilang ‘nggak ada kata terlambat selama mau menunggu mereka cerai’. Itu seperti diam-diam mendoakan orang yang kita cintai dilukai oleh pria lain, hanya supaya dia kembali mengharapkan kita. Seperti itu egois!”
“Ah, ayolah, aku membicarakan tahap pacaran, bukan nikah. Kalau pacaran dan kemudian putus, seharusnya tak perlu menimbulkan luka yang terlalu dalam. Kecuali mereka menjalani pacaran sudah seperti orang menikah, mungkin baru bisa dibilang lukanya seperti perceraian—mungkin, lho, sebab kita juga belum merasakan sendiri pernikahan itu bagaimana. Tapi, kupikir Misha tak akan berpacaran secara ‘kebablasan’, kok.”
“Terus gimana misalnya saat ini Dimas diam-diam berharap kau putus dari pacarmu? Lu mau didoain begitu?” tukasku.
“Lho, itu beda perkara. Buat apa Dimas mendoakan aku putus dari Amanda? Dia ‘kan sudah punya pacar sendiri sekarang,” Erik berkata begitu sambil sedikit menggoyangkan dagu ke Fandy.
Dimas tertawa. Tapi dengan tawa itu aku tak melihat wajah yang sungguh-sungguh terhibur. Itu seperti tawa yang pahit. Sedangkan Fandy tak tertawa, dia cuma tersenyum sedikit dengan pandangan agak menunduk ke lantai bale.
“Sepertinya Denis suka sama Maya nggak, Fan?” sekarang Dimas mencoba mengolokku dengan cara melemparkan pertanyaan itu ke Fandy, mengungkit soal Maya.
Lalu kali ini Fandy pura-pura bertingkah ceria; dia mengangkat telapak tangannya ke dekat mukaku, sambil memejamkan mata. “Biar kuterawang dulu. Oh, dia suka sama Maya. Tapi dia tidak pede karena mengira Maya pernah lebih dulu jatuh hati padamu, di samping dia juga masih trauma ditolak Misha.”
Dimas dan Erik tertawa kompak.
“Oke, biar kuluruskan,” kataku dengan kesal. “Aku memang suka sama Maya. Tapi kalian mestinya paham: ‘suka’ tidak otomatis sama dengan ‘cinta’. Suka itu cuma... seperti kesan awal, yang kurang lebih sama dengan nyaman atau cocok. Tapi cinta butuh proses lebih dari itu. Aku baru kenal Maya dalam sehari, terlalu cepat untuk disimpulkan aku jatuh cinta.”
“Aku tak bilang kamu jatuh cinta,” sahut Fandy.
“Makanya? Apanya yang perlu ditertawakan?” tukasku. “Cowok mana pun akan nyaman dengan Maya. Dia cantik, penampilannya menarik, bicaranya sopan dan... kurasa dia juga cerdas—terus apa yang membuatnya tak disukai?”
Dimas dan Erik tertawa lagi.
“Untuk sekadar suka, kamu terlalu banyak memuji dia,” kata Dimas.
“Sudahlah. Terlalu banyak memuji juga tidak otomatis cinta,” sekarang Fandy pura-pura menengahi, tetapi sebetulnya tetap saja ucapan itu mengolokku.
Kami mengobrol banyak sekali malam itu, dan saling ejek satu sama lain adalah sesuatu yang kadang tak bisa dihindari. Sampai kami lelah, lalu tertidur.
Pagi hari kami terjaga oleh dengung doa yang berkumandang dalam bahasa tak kukenal. Dimas memberitahuku bahwa itu doa Tri Sandya, yang dikumandangkan tiga kali sehari oleh masyarakat Hindu Bali, salah satunya di pagi hari.
Wajah matahari masih terhalang bukit, tapi sinarnya sudah menyeruak di langit, kuning emas sedikit pucat oleh kabut. Pelataran tampak basah oleh embun, dilalui oleh orang yang berduyun-duyun menuju ke pura untuk bersembahyang. Mereka memakai pakaian adat. Kami memandang dengan muka masih dilapisi sisa kantuk. Dimas duduk mendekap lutut di sebelah Fandy, menempelkan kepala di pundaknya, selayaknya pasangan yang ingin memaknai cinta di awal bangun tidur. Oh, aku tak tahu apa yang kubicarakan. Seingatku, apa pun yang kulakukan saat baru bangun dari tidur tak pernah kuhubungkan dengan cinta.
Kami pergi ke warung pertama yang terlihat buka. Kami memesan kopi. Aku tak yakin apakah kami betul-betul penggemar kopi, tapi sepertinya itu adalah ide paling tepat untuk membasmi sisa kantuk. Kopi asli Bali, kata penjualnya. Aku tak tahu apa bedanya dari kopi lain karena selama ini aku tak banyak minum kopi. Tapi aromanya cocok dengan pagi ini. Kami makan mi instan rebus, dilengkapi telur, sawi dan tomat, ditambahi bumbu penguat aroma: serai, daun bawang dan brambang goreng. Uap kuah mengepul ke mana-mana, menyebarkan aroma rempah dan sayuran rebus di antara hawa pagi pegunungan, beberapa kali bertumbukan dengan aroma bunga kamboja dan dupa sesajen dari pekarangan. Kami makan-minum sambil bersendau-gurau. Orang-orang pulang berarakan setelah sembahyang di pura. Burung-burung berkicau dari perbukitan.
Dimas mengajak kami untuk naik ke puncak Lempuyang. Kemarin dia sudah ke sana, tetapi dia ingin menawari kami kesempatan yang sama dan dia rela mendaki ke sana lagi untuk menemani kami. Melalui jalur Pura Penataran Agung, Telaga Mas, dan Pura Pasar Agung, maka akhirnya sampailah kami di pura paling tinggi: Lempuyang Luhur. Tempatnya tidak lebih megah dibandingkan Pura Penataran Agung yang berornamen naga. Tapi dari pura tertinggi itu kami bisa melihat hampir seluruh alam Bali. Gunung Agung terlihat seperti begitu dekat, tanpa awan. Atap-atap rumah dan pura tampak bersembulan di antara hamparan sawah, ladang dan hutan—menyebar jauh hingga menyentuh pantai-pantai Karangasem yang tampak biru kelabu. Aku tidak bersembahyang di pura, teman-temanku juga tidak, tapi aku bersyukur pernah berada di sini—sebuah perhentian untuk meneropong kembali sejauh apa kami telah mengarungi sebuah pencarian, dan apa yang sesungguhnya kami dapatkan dari perjalanan ini.
Kami meninggalkan Pura Lempuyang sekitar jam 11 siang. Kami kembali ke rumah Mas Komang untuk mengambil barang-barang Dimas yang masih ada di sana, sekaligus berpamitan dan mengucapkan terima kasih karena sudah membantu kami. Kami disuguhi cerorot lagi dan kopi pahit. Tapi kami tak bisa berlama-lama, karena kami harus sudah mengembalikan mobil sebelum jam tujuh petang.
Kami pun tak bisa mampir-mampir saat melewati Karangasem, padahal kata Dimas Puri Agung Karangasem layak dikunjungi. Namun, begitu memasuki Bangli, kupikir waktu masih cukup untuk digunakan mampir sejenak ke manalah. Atas saran Erik, kami mampir ke Penglipuran.
Penglipuran adalah sebuah desa adat di Bangli, yang sistem sosial dan arsitekturnya masih sangat tradisional. Rumah-rumah didirikan menghadap jalan utama, di kiri maupun di kanan, sehingga setiap rumah saling berhadapan dan hanya dipisahkan jalan selebar tiga meter saja. Jalan itu lurus memanjang dan berujung pada pura desa; sedangkan di ujung yang berlawanan terdapat jalan menuju ke setra—kuburan desa. Di belakang rumah-rumah terdapat kebun bambu yang sangat rimbun—mungkin banyak celuluk di sana.
Desa Penglipuran memiliki semacam menara jaga yang dibangun dari batu bata dengan berbagai ornamen, dan di bagian atasnya terdapat kentongan. Dimas memberi tahu bahwa itu adalah Bale Kulkul. Keunikan lainnya adalah setiap rumah memiliki bentuk gerbang yang sama. Kata Dimas, “Orang Bali menyebutnya pemesuan. Artinya ‘jalan keluar’. Meskipun gerbang itu pada dasarnya juga digunakan sebagai ‘jalan masuk’, orang Bali lebih memilih menyebutnya ‘jalan keluar’. Yaitu jalan keluar bagi pemilik rumah, supaya ia bisa berbaur dengan tetangga. Hubungan dengan tetangga, bahkan dengan masyarakat pendatang, dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali.”
“Makanya orang asing betah di sini. Sebab orang Bali tuan rumah yang sangat welcome,” tambah Dimas.
Mungkin karena itu juga Dimas mudah menemukan tempat untuk menginap. Selalu ada teman yang menampungnya selama di sini. Dan entah teman yang mana, yang mengajarinya menjadi guide. Oh, Mas Awan barangkali.
Setelah puas berkunjung dan berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan lagi. Kami sempat mampir di Tegalalang: areal sawah berbukit-bukit, dan kurasa aku pernah melihat pemandangan ini dipakai di sebuah iklan. Kami berfoto-foto lagi. Kemudian perjalanan berlanjut lagi hingga kami tiba di Ubud.
Kami masuk ke jalan Sriwedari yang sore itu diramaikan anak-anak yang sedang berpawai menabuh gong dan meniup suling mengiringi penari Barong. Kelihatannya mereka dari semacam sanggar setempat yang sedang berlatih—di jalanan. Kami mampir ke rumah Mas Angga. Kali ini kami tidak perlu kelamaan bingung di depan gerbang, karena kami masih ingat letak belnya: di sisi samping pemesuan. Istri Mas Angga yang membukakan gerbang, menyambut kami, lalu mengajak kami masuk ke rumah utama.
“Syukurlah kalian selamat, dan bisa bertemu lagi,” kata Mas Angga, saat kami beramah-tamah di beranda. Obrolan kami sempat melebar ke mana-mana, seperti umumnya sebuah kunjungan tanpa keperluan resmi. Hingga akhirnya, setelah berbagai basa-basi, Mas Angga mengutarakan pendapatnya yang ini: “Saya kira, bagaimanapun Tuhan pasti akan adil memandang setiap masalah yang dihadapi manusia. Apa yang kita sebut sebagai ‘pantangan-pantangan’ itu tujuannya bukan untuk menakuti, melainkan supaya kita selalu introspeksi sebelum bertindak ataupun sekadar berucap.”
Kami mengucapkan terima kasih kepada Mas Angga atas semua bantuannya. Lalu kami berpamitan, karena tak lama lagi kami segera pulang ke Jawa. Setelah itu, meskipun Mas Angga mengharap kami bisa berkunjung lagi di lain waktu, entah apakah kami akan pernah memiliki kesempatan untuk bertemu lagi.
“Lain kali semoga kita bisa tampil bersama lagi,” kata Dimas. “Atau, siapa tahu suatu saat Mas Angga dan ‘Pager Wangi’ tampil di Solo. Di Solo banyak event seni. Kabari kami, lho!”
Mas Angga tertawa mengamini.
Sebelum meninggalkan rumahnya, kami diberi kenang-kenangan berupa kerajinan tangan buatan pabriknya. Kami dipersilakan memilih sendiri pernak-pernik kerajinan tangan itu. Aku tak tahu apa yang kupikirkan saat memilih boneka kura-kura yang kepalanya bisa goyang-goyang. Aku juga tak terlalu memperhatikan pilihan kawan-kawanku, tapi kulihat Dimas memilih gantungan kunci berbentuk penis yang dicat berbintik-bintik. Jalan pikiran saudara kembarku memang sering aneh. Di sepanjang perjalanan, dia dan Fandy berhaha-hihi di jok belakang. Aku senang sih melihat mereka bahagia, selagi mereka bisa bahagia—tapi tidak dengan penis aneh berbintik-bintik itu! Beberapa kali Dimas sengaja membuatku jijik dengan cara mencolek-colekkan benda itu ke punggungku. Ingin kurebut lalu kubuang saja benda itu ke jalan.
Kami tiba di Gianyar pukul 5 sore. Kami mengembalikan mobil ke tempat rental. Erik menawari kami menginap di Gianyar. Awalnya aku menolak. Tapi kemudian kupahami bahwa sudah terlalu sore untuk melanjutkan perjalanan. Mobil sudah dikembalikan ke tempat rental; jika mau melanjutkan perjalanan, sudah tak ada lagi kendaraan umum kecuali taksi dan ojek yang biayanya akan amat mahal. Aku terpaksa setuju menginap, Dimas dan Fandy juga.
Erik mengajak kami ke markas komunitas backpacker yang telah membantunya selama di Bali. Tempatnya cuma lima menit jalan kaki dari rental mobil tadi. Markas itu tak lain adalah sebuah penginapan murah; bagian depannya berhalaman lebar dan setiap sore hingga malam dipakai untuk berjualan Nasi Jinggo. Banyak anak muda nongkrong di tempat itu, makan dan minum sambil bermain gitar. Beberapa dari mereka menyambut Erik dengan seruak ramah.
Kami berkenalan dengan banyak orang di markas itu. Tapi kemudian aku tak terlalu mengingat mereka, selain karena terlalu banyak orang juga karena kami hanya menginap semalam di tempat itu. Yang kuingat: Cecile dan Fillipe sudah tak ada di situ. Mungkin kami juga tak akan pernah berjumpa mereka lagi.
Begitulah, sebuah perjalanan tak terlupakan telah mempertemukanku pada orang-orang yang tampaknya tak akan pernah kutemui lagi. Aku sedih. Tapi, betulkah itu perlu disedihkan? Mereka orang-orang baik dan ramah, tapi betulkah perlu menjadikan mereka bagian dari hidup kita seterusnya? Aku tak tahu. Aku tak yakin. Tapi aku sedih. Yah, pokoknya sedih....
Erik dan Fandy sedang bersama anak-anak lain di lesehan Nasi Jinggo, sementara aku di beranda dengan Dimas. Dimas tersenyum-senyum menguping obrolan di halaman, tak terlalu peduli padaku meski kami duduk di bangku yang sama.
“Kok nggak gabung dengan mereka?” tanyaku.
“Aku mau lihat saja, seperti apa kalau Fandy bersama Erik, tanpa ada kita di sana,” ucapnya—sekilas pandangannya seperti ke arah mereka berdua, tapi aku merasa kalau dia menerawang lebih jauh dari itu.
“Kalian bicara apa saja saat di Lempuyang kemarin—kamu sama Fandy?” aku menyelidik. Ya, saatnya menyelidik.
Dia terdiam beberapa lama sebelum menjawab: “Tak apa-apa.”
Aku yakin ada apa-apa. Jika masalahnya tak serius, kurasa dia akan membalas seperti kecenderungannya: “bukan urusanmu”, atau “rahasia, dong”, atau “mau tahu saja”. Saat dia menjawab “tak apa-apa”, itu justru seperti ada apa-apa dan itu serius. Dia mau menutupi sesuatu dariku.
Dia mengalihkan pembicaraan dengan mengajukan usul bahwa sebisa mungkin kami perlu menyempatkan diri berpamitan pada Mas Dika sebelum meninggalkan Bali; syukur jika bisa berpamitan dengan Mas Awan pula; sebab mereka berdua sudah banyak membantu kami. Aku tak keberatan, selama tak menginap lagi.
“Sebaiknya kita cepat pulang. Papa dan Mama mungkin sabar pada kita. Tapi Fandy nggak bisa lama-lama pergi,” jelasku.
Dimas tak mengungkit Fandy. Dia pilih mempersoalkan situasi Papa dan Mama. “Kamu sudah menghubungi Papa atau Mama?”
“Sebetulnya Papa sudah SMS pagi tadi,” kataku. “Papa tanya apakah kamu sudah ketemu.”
“Terus?”
“Aku jawab ‘sudah’. Tapi aku minta Papa supaya jangan beri tahu Mama dulu. Soalnya Mama itu gampang panik, dan kalau ada sesuatu, berita baik sekalipun, bawaannya pasti mau buru-buru saja. Biar Mama tahu saat kita betul-betul sudah pulang nanti, biar Mama sendiri yang langsung melihat kau sudah pulang.”
“Terus?”
“Papa setuju. Tapi Papa pengin bicara denganmu. Aku bilang nanti malam saja, soalnya tadi kita masih di perjalanan.”
“Berarti seharusnya sekarang?”
“Kalau kamu sudah siap,” kataku.
Dimas terlihat bimbang. Tapi kemudian mengangguk. “Ini memang tanggung jawabku, untuk menjelaskan ke Papa,” ucapnya pelan.
Benar.
Aku mengirim SMS ke Papa. “Bisa tlpn skrng, Pa? Dimas pngn ngomong.”
Beberapa menit kemudian Papa menelepon. Langsung kuserahkan ponselku ke Dimas. Dia membawa ponselku menyingkir ke tempat sepi. Aku mengikutinya—ke kamar yang kami pakai untuk berempat malam ini. Tapi aku cuma berdiri di muka pintu. Kubiarkan Dimas bicara dengan Papa tanpa campur tangan siapa pun.
Mereka bicara cukup lama. Awalnya ada nada bicara yang ragu-ragu dari Dimas. Terbata-bata. Beberapa saat kemudian mulai ada nada tertawa. Nada hangat. Lalu, di tengah semua percakapan itu, bisa kulihat mata Dimas mulai memerah. Berkaca-kaca. Aku mendengar beberapa dan bisa menerka apa saja yang mereka bicarakan. Kurasa kau juga bisa membayangkannya sendiri, jadi tak perlu kuceritakan kata per kata padamu tentang apa yang kudengar dari mereka. Kau pasti bisa membayangkannya.
Lebih dari setengah jam mereka bicara. Setelah pembicaraan mereka selesai, aku menghampiri Dimas yang masih duduk di pinggir ranjang. Dimas memberikan kembali ponselku.
“Uang sakumu masih?” itulah yang diucapkannya pertama kali padaku setelah selesai bicara dengan Papa.
“Buat pulang, masih.”
“Kalau habis, disuruh minta ke Papa.”
“Masih,” kataku. “Papa sudah banyak keluar uang.”
Dimas mengangguk. Lalu dia kembali emosional. Menyeka matanya. Tersengguk.
“Sudahlah. It’s okey,” kataku. Di sampingnya.
Kau mungkin pernah mendengar cerita populer tentang anak yang hilang. Dia adalah anak dari sebuah keluarga kaya. Kedua orang tuanya memanjakannya, karena berpikir bahwa memanjakan adalah sebuah cara menunjukkan kasih sayang. Tetapi, rupanya menyayangi tak berarti harus memanjakan, sebab, ketika tumbuh dewasa, ternyata anak itu tidak tumbuh sebagai anak yang penuh kasih sayang sebagaimana kedua orang tua memperlakukannya selama ini. Dia malah menjadi pemuda yang kurang ajar. Dia tak mau mengenal kerja keras, sementara itu dia malah terus-menerus menghamburkan harta orang tuanya untuk kesenangannya sendiri. Akhirnya, orang tuanya tak tahan lagi. Sang ayah mengusir anak itu.
Anak itu bersedia pergi, tapi dengan menggondol banyak harta orang tuanya. Di perantauan, dia terus menghamburkan harta itu demi berfoya-foya. Hingga akhirnya, bertahun-tahun kemudian, tak ada lagi harta berharga tersisa padanya. Dia menjadi miskin sekarang. Dia menjadi gelandangan. Dan dia tak lagi dihormati oleh orang lain mana pun.
Dalam kemiskinannya, dia mulai teringat kedua orang tuanya, teringat kasih sayang mereka, bertahun-tahun yang lalu. Dia menangis. Menyesal. Sekarang dia tahu, bahwa uang ataupun hal duniawi apa pun tak pernah abadi. Tetapi, ingatan tentang cinta dan kasih sayang, itu akan abadi, dan itu akan menghantui ketika kau kehilangan.
Terbersit dalam benaknya untuk pulang, untuk meminta maaf atas semua kedurhakaannya. Namun dia ragu: apakah kedua orang tuanya masih sudi melihatnya? Sesungguhnya, dia sendiri merasa tak pantas untuk menunjukkan muka di hadapan orang tuanya. Namun, dia tak ingin menanggung dosa tanpa pernah menyempatkan diri meminta maaf, sekalipun dosa itu nanti tak dimaafkan.
Suatu hari, dia menemui salah satu pelayan ayahnya di pasar, dan menitipkan surat untuk ayahnya. Di surat itu dia menulis, “Ayah, Ibu, aku sungguh merindukan maaf dari kalian. Jika Ayah dan Ibu menerima permohonan ini, cukup ikatkan sehelai kain putih di satu pohon depan rumah. Itu saja cukup. Aku akan bisa melihatnya dari kejauhan. Setelah melihatnya, aku akan bisa berlalu dengan hati yang lebih damai. Dari seorang anak yang durhaka bertahun-tahun lalu.”
Keesokan harinya, dia berdiri di kejauhan untuk melihat adakah tanda maaf itu telah diikatkan di pohon depan rumah. Namun, dia tak melihat sehelai kain putih di sana. Yang dia lihat adalah semua pohon di pekarangan itu dibungkus dengan kain putih. Semua pohon. Dan di bawah pohon-pohon itu meja-meja telah ditata dengan penuh makanan serta minuman. Orang-orang berbondong-bondong ke sana, dan anak itu bertanya ke salah satunya, “Ada apa di sana?” Yang ditanyai menjawab, “Pemilik rumah itu mengadakan pesta besar, sebab anaknya yang telah lama pergi hari ini akan pulang.”
Aku tak tega menyebut Dimas durhaka. Dia tak sedurhaka anak di cerita itu. Penyesalannya lebih mudah untuk dimaafkan. Jadi dia tak perlu minta seikat kain putih di pohon belimbing depan rumah. Kalaupun dia memintanya, aku juga tak yakin Papa akan mau repot-repot membungkusi semua pohon di halaman rumah dengan kain. Sebab, tak ada masalah yang tak bisa dibicarakan. Beberapa masalah memang hanya bisa dibicarakan di meja hijau, tetapi untuk perbuatan Dimas kurasa percakapan di telepon sudah cukup. Bukan begitu?
Yeah, ayah kami terlalu sering kalah saat badminton. Dia tak punya suara yang patut untuk menggertak orang; tak punya riwayat pernah belajar bela diri; suka terlambat menyadari bensin di motornya habis; lebih sering disalip daripada menyalip saat menyetir mobil. Tapi, kami tak pernah tidak bangga padanya. Setidaknya Papa tidak fals kalau menyanyi. Papa juga tidak pernah pelit dalam memberi uang, dan tak pernah mengeluh dompetnya menipis, meski dia bilang gajinya tak terlalu besar—jika targetnya adalah beli mobil baru. Dan, yang terpenting dalam hal ini, Papa adalah orang pemaaf.
Mama? Ya, Mama memang lebih emosional dan sering tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu, dan seringkali juga memaksa, memerintah, minta dituruti. Tapi Mama selalu bermaksud baik. Dia ingin menghadirkan kebaikan untuk orang lain, anak-anaknya, hanya saja kadang dia terjebak pada sudut pandangnya sendiri. Dan Mama juga orang yang bisa memaafkan, meski lebih butuh waktu. Dan kurasa Mama sudah memanfaatkan waktunya. Mama sudah memaafkan Dimas. Dimas juga sudah memaafkan Mama. Aku percaya itu.
Tetapi, “Bagaimana dengan orang tuamu nanti? Apakah mereka bisa memaafkanmu?” tanyaku, pada Fandy, ketika aku punya kesempatan berdua dengannya, mempertanyakan masalah yang sebelumnya juga sudah pernah kutanyakan. Kali ini aku betul-betul ingin dia memikirkannya dengan lebih serius.
“Sudah kubilang, mereka pasti akan marah,” jawabnya enteng. “Tapi mereka sudah terlambat untuk mencegahku pergi, ‘kan? Aku sudah pergi. Lalu, aku juga sudah kembali.”
“Apakah mereka serius akan memindahkan sekolahmu?”
Dia mengangguk pelan. “Sepertinya serius. Tapi, yang penting Dimas sudah kembali, ‘kan?”
“Fan, sebetulnya... lu tuh bodoh,” desahku dongkol dan malu, pada diriku sendiri. “Aku ngerasa bersalah membiarkan lu ikut kemari.”
Dia malah tertawa. “Kau juga sudah terlambat untuk mencegahnya. Jadi, tak ada yang perlu disesali. Biar masalah dengan keluargaku kuhadapi sendiri.”
“Nggak bisa gitu....”
“Terus? Memangnya kamu mau ikut menjelaskan ke orang tuaku?”
Aku kikuk, dan sebetulnya juga tak yakin dengan jawabanku: “Kamu sudah ikut membantu keluargaku, Fan. Apa aku mesti membiarkan kau sendirian menghadapi keluargamu? Apa itu adil?”
Lebih tepatnya: “Apakah itu menunjukkan solidaritas?”
“Biarkan kutangani dengan caraku. Dengan begitu, kalian sudah membantuku, kok. Percayalah.”
“Tapi... cara yang mana? Membohongi mereka bahwa kamu cuma main-main di Jogja?” tukasku.
“Apa pun nanti yang akan kupakai sebagai alasan, aku sudah tahu hasilnya, kok. Jadi, sebetulnya aku nggak tegang-tegang amat. Aku sudah siap.”
“Sudah tahu hasilnya?” selidikku tak mengerti.
Dia tersenyum memaling ke arah lain, mendesah, “Yah, kurasa aku memang akan pindah sekolah. Aku tak akan di Solo lagi. Intinya begitu.”
“Dan... itu nggak masalah buat lu?”
Dia menghela napas, lalu tertawa lagi perlahan. “Bukankah toh Dimas sudah lulus? Toh aku tak satu sekolah lagi dengannya, tho? Jadi apa ruginya aku pindah ke sekolah lain? Yang rugi adalah orang tuaku, karena mereka akan keluar uang banyak untuk memindahkan sekolahku.”
Lalu dia tertunduk. Aku curiga dia sebetulnya sedang menutupi sesuatu dariku, dan cuma pura-pura tegar menghadapi masalahnya.
“Kau membicarakan sesuatu dengan Dimas saat di pura kemarin?” aku mencecar pelan-pelan.
“Tentu saja aku berbicara dengannya. Memangnya harus diam saja setelah bertemu?” jawabnya dengan delikan sedikit konyol—aku tak berharap dia mulai menyebalkan lagi.
“Maksudku, kalian membicarakan sesuatu, dan... bukan lebih banyak melakukan sesuatu. Begitu maksudku,” aku meluruskan, dengan bicara yang justru belepotan—dan kusadari itu ‘cara meluruskan’ yang justru tidak lurus.
Dan Fandy pun memanfaatkannya untuk sesuatu yang di luar konteks: “Yah, kami membicarakan sesuatu, tapi tentu dengan tetap melakukan sesuatu... berciuman misalnya, dan saling berpelukan....”
“Aku tak tertarik adegan ciuman kalian!” potongku. “Aku ingin tahu apa saja yang kalian bicarakan, setelah berpisah dengan cara yang....”
“Kenapa tak bertanya saja padanya?” dia balas memotong kalimatku yang belum selesai.
“Aku memilih untuk bertanya padamu lebih dulu, sebelum bertanya padanya. Sebab masalah Dimas sudah selesai, tak ada yang perlu dicemaskan lagi. Tapi lu, masalah lu belum selesai. Bahkan mungkin baru akan dimulai!”
Dia memandangiku. Dia seperti ingin membuatku melihat bahwa tak ada kecemasan di wajahnya. Tapi dia salah, menurutku raut wajahnya tak sepenuhnya bebas dari rasa cemas. Kutandaskan padanya, bahwa meskipun aku tak punya bakat supranatural, aku tidak bodoh untuk memahami bahwa sesungguhnya ada yang membuat dia cemas. Tak ada gunanya dia menutup-nutupi lagi.
Lalu akhirnya dia mau mengaku. “Kali ini, kami betul-betul putus. Dan kali ini karena kemauanku.”
Aku termangu agak lama oleh pengakuan itu.
“Perjalanan ini bukannya tak memberiku apa-apa. Banyak yang bisa kurenungkan, Den,” ulasnya pelan-pelan. “Kalian memang beruntung, orang tua kalian—akhirnya—bisa memahami Dimas dan menerimanya. Orang tuaku mungkin butuh lebih banyak waktu. Dan selama ini aku marah dan membangkang karena kupikir mereka tak mau mengerti. Tapi, betulkah itu berarti bahwa mereka tak menyayangiku? Bukankah merekalah yang telah membesarkanku, mendidikku, menyekolahkanku, menjadikanku anak yang layak dicintai—termasuk dicintai oleh kakakmu? Berapa tahun yang sudah mereka lalui untuk itu? Aku sudah mau 18 tahun sekarang. Lalu berapa lama yang sudah kulakukan untuk membuat mereka mengerti pilihanku? Apakah melebihi waktu yang mereka pernah berikan lebih dulu? Jauh dari melebihi: aku bahkan belum melakukan apa pun, selain marah... dan minggat.”
Aku mengangguk, tak mau menyanggah cara berpikirnya. Omongannya tidak salah. “Lalu, selanjutnya apa?” tanyaku.
“Yah, aku akan pulang. Aku akan meminta maaf ke mereka. Dan aku bersedia pindah sekolah, jika mereka memang berniat membuang uang demi memindahkan sekolahku. Kali ini aku tak akan berontak. Aku akan mengalah untuk menuruti cara pandang mereka lebih dulu, dengan harapan pada gilirannya nanti mereka akan menerima cara pandangku. Satu hal tak akan kuubah: aku mencintai Dimas. Tapi saat ini aku masih seorang anak yang ada di bawah tanggung jawab orang tua. Meskipun aku tak mau perasaanku disalahkan, bagaimanapun aku punya keluarga dan aku bagian dari mereka, dan sudah seharusnya aku hidup bukan untuk mengecewakan mereka.”
“Meskipun mereka mengecewakanmu, ‘kan?” simpulku, tanpa maksud memprovokasi—hanya berusaha memahami perasaannya.
Dia menunduk. “Orang tuaku sudah pernah kehilangan anak, sebelumnya. Kakakku. Apakah aku harus membuat mereka merasa kehilangan lagi? Aku sendiri bahkan juga merasakan sakitnya kehilangan saat Mas Bagas meninggal. Aku tak ingin memberikan perasaan seperti itu lagi kepada orang tuaku.”
Aku terdiam. Aku tak mungkin sanggup menyanggah, dan sejak semula memang aku tak berhak menyanggah. Aku hanya merasa sedih karena tak bisa membantunya secara lebih berarti.
“Lalu, apa kata Dimas?” tanyaku.
Dia tersenyum. “Dimas mendukung keputusanku. Kami sama-sama sudah mengecewakan keluarga, ‘kan?”
“Tapi apakah berarti kalian memang harus putus—lagi?”
“Jujur saja, hubungan dalam situasi seperti ini akan sangat melelahkan. Aku tak bisa melakukan keduanya sekaligus. Aku tahu kedua orang tuaku seperti apa. Kurasa, sudahlah, sekarang biar kulayani dulu keluargaku. Bagaimanapun, dari hatiku yang terdalam, aku juga tak ingin kehilangan mereka.”
Aku termangu lama. Kemudian aku mengucapkan sesuatu yang membuat diriku sendiri sedih: “Bedanya... keluargamu tak akan merindukan Dimas. Sedangkan kami, pasti merindukanmu.”
Dia tak mengolokku karena kata-kata itu. Dia cuma tertawa, lalu berkata, “Makasih, ya, Den.”
Aku bertanya apakah masih ada kemungkinan suatu saat nanti mereka berdua bersama lagi. Dan dia menjawab: mungkin, jika situasi membaik, dan jika Dimas tak memilih lelaki lainnya.
“Aku membebaskannya, seperti yang sudah lebih dulu dia coba lakukan padaku. Dia boleh memilih siapa pun yang menurutnya lebih baik untuknya. Kurasa, bukankah terlalu serakah kalau aku menganggap bahwa hanya dirikulah yang bisa membuatnya bahagia?” Fandy mengatakannya disertai derai tawa—yang sayangnya tak bisa mengurangi sedihku.
“Apakah Dimas tak mencoba mempertahankanmu, sedikit pun?”
Dia tersenyum. “Ya. Dia mencoba. Di surat yang dulu dia tulis padaku, dia juga sudah mencoba melihat kembali peluang yang kami miliki. Aku sempat berpikir, bahwa kami memang masih punya peluang. Tapi... kemudian kami berpikir bahwa itu adalah peluang yang akan sangat melelahkan. Pada akhirnya, bersikap realistis memang penting, Den. Untuk sementara, ini adalah masa di mana kami harus mengalah. Atau... mungkin memang untuk seterusnya....”
Percakapanku dengan Fandy malam itu betul-betul membuatku sedih. Sebab, setelah Fandy jauh-jauh ikut mencari kekasihnya, dan kemudian berhasil menemukannya, ternyata hanya untuk berpisah lagi darinya. Putus. Putus untuk yang kedua kali. Dan sepertinya kali ini mereka betul-betul putus.
Aku bertanya-tanya: “Lantas, apa arti semua jerih payahnya?”
Dimas menjawabku saat aku mempertanyakan itu kepadanya, “Artinya: dia sudah membuktikan bahwa dia sanggup hadir di saat-saat yang sulit, untuk menemani kita. Saat kita telah pulang dan berkumpul di rumah, dia akan pergi.”
“Dan kau membiarkan dia pergi?”
“Karena dia meminta, dan aku percaya dia kuat,” kata Dimas.
“Bagaimana kalau kalian tak akan pernah bertemu lagi?”
“Aku tak percaya itu. Tapi kalaupun itu terjadi, aku pun harus kuat.”
Sebetulnya aku sulit memahami hubungan mereka. Aku tak pernah berpikir ada cinta yang seperti itu. Cinta yang sepertinya terlalu tua untuk mereka. Cinta yang sepertinya terlalu mistik bagiku. Tapi... katanya, cinta memang bukan logika.
“Kenapa sepertinya kau tak rela?” tanya Dimas.
“Karena... aku tahu, kepergiannya akan membuatmu sangat sedih. Aku tahu, kau pun sebetulnya tidak rela.”
“Ya. Memang tidak. Tapi, ini adalah saatnya mengalah...,” kata Dimas perlahan, terbata. Matanya mulai berkaca-kaca lagi. “Bagaimana aku bisa rela... membiarkan dia pergi seorang diri setelah semuanya ini...?”
Ckrkkk.... Pintu kamar terbuka. Fandy di ambang pintu. Dia menatap kami.
“Kamu tidak apa-apa?” dia bertanya, saat mendapati wajah Dimas terlihat begitu sedih.
Dimas menyahut, “Tidak apa-apa.”
“Kemari,” kataku.
Fandy mendekat. Aku merangkulnya. Aku merangkul Dimas. Kami berangkulan bertiga.
Kataku, “Apa pun yang terjadi nanti di antara kalian, jangan ada yang saling melupakan. Kalian ingin tahu apa yang telah kurenungkan dari perjalanan ini? Dengar baik-baik. Jika saat ini di keluarga kita ada Papa, Mama, dan dua anak laki-laki, maka aku akan bilang: tidak. Mulai saat ini, ada tiga anak laki-laki di keluarga kita, dan meskipun nanti kita saling terpisah, kita tak boleh saling meninggalkan. Apa pun yang terjadi.”
Karena sahabat memberikan kasihnya setiap waktu, dan menjadi saudara dalam kesusahan.



***

Pagi kami meninggalkan Gianyar. Erik memutuskan ikut. Kami berpamitan kepada teman-teman di komunitas backpacker yang secara tak langsung juga sudah ikut membantu menemukan Dimas—berkat bantuan mereka kami bisa dengan mudah mendapatkan mobil sewaan. Kami berempat menuju ke Ubung menggunakan angkutan umum.
Semalam aku sudah lebih dulu mengirim pesan ke Mas Dika bahwa kami akan mampir ke sana lagi sebelum pulang ke Jawa, dan bahwa Dimas sudah bersama kami. Dari Ubung kami meneruskan perjalanan memakai taksi. Setidaknya kami naik taksi tidak sejak dari Gianyar, jadi ongkos lebih hemat, meski sebetulnya tetap tergolong mahal. Dimas yang membayar dan dia tak mau dibantah; sepertinya sengaja mau pamer bahwa dia banyak uang.
“Kalian sudah keluar banyak uang untuk mencariku,” katanya. “Sekali-sekali biarlah aku membayar untuk kalian.”
Kami tiba di Nagari sekitar jam 10 pagi. Kami disambut oleh Durus di pagar. Dia mengoceh banyak sekali saat melihat Dimas datang bersamaku. Dia membanding-bandingkan wajah kami dan sebagainya. Dia juga minta langsung diceritai tentang bagaimana kami bertemu Dimas. Tapi kupikir itu akan menjadi cerita yang agak panjang untuk diomongkan di halaman. Jadi kutunda ceritaku.
“Mas Dika ada, ‘kan?”
“Ada. Bli semua sudah ditunggu-tunggu. Ayo masuk!”
Mas Dika menyambut kami di kafe. Kami bersalaman dengannya; dia dan Dimas berpelukan, sedetik saja dan itu cukup. Kami beramah tamah, dan sekaligus memperkenalkan Erik—bahwa dia berangkat dari Jawa bersama kami, dan dialah yang menyetir mobil dari Batu Bulan sampai Lempuyang, lalu kembali lagi ke Gianyar. Aku tak menjelaskan bahwa Erik adalah orang yang pernah mematahkan hati Dimas di masa lalu, tapi sepertinya aku sudah pernah keceplosan soal itu.
“Akhirnya kalian bertemu di mana?” Mas Dika bertanya dengan antusias, minta diceritai dan memutuskan bahwa tempat paling nyaman untuk berbagi cerita adalah di sofa beranda sambil minum-minum—gagasan yang tak perlu dibantah. Kami juga ditawari sarapan, tetapi kami sudah sarapan di Gianyar.
Aku dan Fandy bercerita bergantian. Tentang Mas Angga di Jalan Sriwedari, yang bel pintu gerbangnya tersembunyi—dan Dimas membawa penis berbintik-bintik dari sana; tentang Mas Komang yang bermuka preman dan sepertinya penggemar fanatik cerorot; dan tentang apa pun yang kami dapati di Pura Lempuyang.
“Persis seperti yang ada di mimpiku,” kata Fandy saat membahas pura itu. “Yah, tak mirip-mirip amat, sih, sebetulnya....”
“Ada insiden?” selidik Mas Dika, menunjuk wajah Dimas. Sisa memar.
Mmhh, kecelakaan kecil waktu trekking di Batur,” Dimas mereka penjelasan, “tersodok pancang tenda....”
“Denis memukulnya,” Fandy langsung menyambar.
“Oou....” Mas Dika terperangah. “Serius? Kenapa harus....”
“Dia memang emosional,” Fandy menjelaskan lagi tanpa bisa dicegah, meski kulihat Dimas sudah menginjak kakinya. “Itu bisa dimengerti. Dia sudah kehilangan separuh jiwanya selama berbulan-bulan, merasa terkhianati, dan ketika dia melampiaskannya lewat sebuah pukulan, sebetulnya itu hanyalah bentuk lain dari ungkapan rasa sayang. Rasa sayang yang tercabik-cabik, tepatnya.”
Aku jadi ingin memukul satu orang lagi. Tapi Mas Dika tertawa terbahak-bahak dan begitu pula Erik. Durus ikut menimbrung, “Ya ampun, Ida Batara... kok Bli tega sekali sama saudara sendiri?”
“Biarin,” tukasku.
“Tapi lihatlah, mereka sudah akur. Lebih cepat dari pasangan kekasih mana pun,” Fandy terus mem-bully aku dan Dimas. “Kadang aku merasa bersalah merebut Dimas darinya.”
“Apalagi Misha juga menolaknya,” Dimas menyahut, memilih di pihak Fandy untuk meledekku.
Ada banyak hal yang kami cakapkan di pagi menjelang siang itu, di beranda Nagari. Ada banyak canda tawa. Dan sedikit demi sedikit kami pun menyicil suatu kerinduan yang akan timbul di masa mendatang, yaitu bahwa kami pernah bertemu sahabat-sahabat yang begitu hangat dalam sebuah perjalanan ke Bali. Beberapa kali aku pun berpikir, andai Dimas tak pernah minggat, mungkin aku pun tak akan pernah bertemu mereka. Bukan, itu bukan soal penyesalan.
Rupanya rencana-rencana telah disiapkan dengan sigap siang itu, tanpa sepengetahuan kami. Setelah ramah tamah yang panjang dan menyenangkan, pukul 4 sore teman-teman Dimas dari band yang dia sebut “The Bats” datang. Mereka reuni, dan dengan senang hati akan bermain sore itu sebagai bagian dari pesta perpisahan. Kami terharu.
Pukul 5 sore langit sudah mulai teduh dan sinar mentari tidak terasa panas lagi. Para kelelawar itu mulai menabuh musik di panggung. Dimas, seperti biasa, bermain dengan gitar akustik. Dia mengundang Erik untuk ikut naik ke panggung, supaya bisa ikut menunjukkan suaranya yang bagus.
Halaman Nagari meramai. Beberapa pejalan kaki mampir untuk melihat. Beberapa di antaranya adalah turis-turis asing yang tampak antusias menonton The Bats di panggung. Sebagian menonton dari beranda sambil pesan makan-minum. Sebagian membawa minumannya ke halaman. Banyak momen ketika kami kemudian bernyanyi bersama, tak peduli apakah kau adalah bagian dari The Bats, tak peduli apakah kau hanyalah petualang yang sekadar mampir, tak peduli apakah kau orang asing. Sejak kalimat “let’s get the party started” diteriakkan, semua bersenang-senang di sore yang cerah di halaman!
Lalu, sore sudah menjadi temaram ketika Dimas mengundang seseorang untuk naik ke panggung. “Aku ingin mengundang seseorang untuk naik ke panggung. Kami sangat dekat, dan pada dasarnya tak dapat dipisahkan. Dia orang yang sangat pemalu. Tapi aku tahu dia juga bisa memainkan musik dengan baik. Jadi, ayolah, naiklah ke panggung, dan bawa harmonikamu!”
Aku langsung tahu siapa yang dimaksud Dimas. Aku mendorong Fandy.
“Tidak, nanti malah kacau!” Fandy menolak.
Durus dan Erik turun dari panggung untuk ikut menggeret Fandy. Teman-teman di panggung juga sudah berteriak-teriak, “Maju! Maju! Maju!” Aku harus repot-repot menuju ke dalam sejenak, ke tempat tas-tas kami dititipkan, untuk mengorek isi tas Fandy dan menemukan harmonikanya. Saat aku kembali ke halaman, Fandy sudah di panggung. Aku mengulurkan harmonikanya dari bawah panggung.
Kami bertepuk tangan. Fandy berbisik-bisik dengan Dimas beberapa saat, lalu, dengan agak grogi dan malu-malu, dia mengatakan sesuatu di depan mic. “Oke. Terima kasih. Jadi... saya akan memainkan satu intro, saya tak akan menyebut judulnya, tapi semua yang memegang instrumen harus bisa mengiringi lagu ini—itu adalah konsekuensi dari memaksa saya untuk naik kemari. Dan siapa pun yang tahu lagu ini, harus ikut menyanyi. Sebab saya memilih lagu ini sebagai persembahan untuk kalian semua—teman-teman yang aku cintai!”

Semua menyambutnya dengan tawa dan tepuk tangan berderai. Dan tepuk tangan kian bergemuruh ketika Fandy mulai meniup harmonikanya, memainkan intro yang dengan cepat disahut oleh semua personel band di belakangnya. Ya, semua orang di panggung itu rupanya tahu lagu itu, dan itu seperti permainan sihir yang dilakukan Fandy untuk memukau kami semua. Atau, mungkin karena The Bats memang band profesional tulen; silakan mainkan intro apa saja, mereka pasti bisa menyahutnya. Kurasa mereka pasti akan memakai slogan ini: “Kau sebut judulnya, kami akan mainkan!”—jika itu tak terdengar norak.
Kudengar orang-orang bernyanyi, baik yang di atas panggung maupun yang di bawah. Kecuali yang tak tahu lagu itu. Seperti aku. Aku tak bisa menangkap dengan jelas lirik yang mereka lantunkan secara berjamaah. Namun, pada bagian tertentu, lirik itu kemudian terdengar begitu jelas. Dan aku mendengar itu berbunyi: “That’s what friends are for....”
Kulihat orang-orang bergandengan tangan. Sebagian dari mereka mengangkat korek api yang menyala, dan mengayun-ayunkannya dengan syahdu di udara.
Dan, seseorang menghampiriku. Lalu, tanpa dimulai dengan kata-kata, kupegang tangannya. Dia tersenyum. Peganganku dibalasnya. Tangan kami bergandengan erat.
“Kenapa tak ikut naik ke panggung?” tanya Maya padaku.
“Menurutmu, mereka berdua serasi?” balasku, bukan dengan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan Maya—yang kali ini mengurai rambutnya.
Maya tertawa kecil. “Aku sulit menanggapinya. Tapi, sepertinya lebih sulit untuk menyangkal bahwa mereka saling cinta, setelah pencarian yang begitu jauh diperjuangkan.”
Aku tertawa. “Aku mendukung mereka, tetapi dengan banyak syarat. Salah satunya: jangan pernah menyuruhku naik ke atas panggung untuk menyanyi.”
“Kenapa?”
“Aku lebih suka berada di bawah atau di belakang panggung.”
“Iya, tapi kenapa?”
“Mungkin inilah ciri khasku,” jawabku sambil sedikit membusungkan dada. “Kecuali jika benar-benar terpaksa.”
Kami tertawa.
Tangan-tangan masih bergandengan di halaman.
Di beranda, kulihat Mas Dika sendirian. Mas Awan tidak datang.
Musik terus bermain.
Setelah lagu yang kesekian berakhir, aku mendengar suara Dimas, “Sebenarnya ada satu lagi yang ingin kuajak naik ke panggung. Dia orang yang sangat kusayangi, dan pada dasarnya kami juga tak terpisahkan. Aku ingin perkenalkan secara resmi saudara kembarku: Denis. Mana dia....?”
Mereka tak akan menemukanku di sana. Sebab aku di taman belakang bersama Maya. Kami mengobrol tentang rencana kuliah dan apa saja. Sambil melihat bintang-bintang. :)







to be continued ....








NB: Layangkan komentarmu DI SINI.