Karung
25
Saat Tangan-tangan Bertemu
Malam
itu kami menginap di bale, di pelataran bawah Pura Penataran Agung Lempuyang.
Dimas banyak mendongeng tentang pengalamannya selama di Bali; dia bercerita tentang
kesehariannya ketika di Nagari, ketika di rumah Mas Angga, dan juga pengalaman
pendakiannya di gunung Batur. Dia juga bercerita tentang penginapan Pak Martha
yang, di samping terdapat beberapa “cowok cakep”, menurutnya tempat itu angker.
Fandy kelihatannya tidak cemburu saat Dimas mengungkit tentang “cowok cakep”.
Ngomong-ngomong
soal angker, maka aku pun—tanpa minta izin pada Fandy—menceritakan tentang
kuburan di Pemuputan. Dimas dan Erik tercengang saat kubeberkan bahwa Fandy hampir kesurupan saat itu. Tapi,
kemudian Dimas menyatakan bahwa sebetulnya dia tak terlalu kaget oleh bakat
Fandy. Dimas bilang bahwa selama ini Fandy suka secara tak sengaja mengomongkan
firasat-firasat tentang hadirnya makhluk lain. Tapi selama ini Dimas pura-pura
tak merasakan firasat yang sama, sebab, selain dia sendiri takut hantu, dia khawatir
Fandy akan merasa sebagai “orang aneh” jika diberi tahu soal bakatnya itu.
“Tapi,
pada dasarnya aku menerima dia apa adanya,” kata Dimas.
Aku
melihat Fandy tersenyum tersipu.
“Denis
ditolak Misha,” tiba-tiba Fandy balas membuka aibku.
Aku
ditertawakan tiga orang malam itu. Tapi karena sudah telanjur terkuak, maka kuceritakan
saja kejadian itu, bahwa intinya jika saat ini ada orang yang sangat ingin
kuajak berkelahi, maka itu adalah Amos.
“Aku
sudah sering bilang, ‘cepat tembak saja’. Nah, sekarang sudah terlambat,” kata Dimas.
“Sebetulnya
tak ada kata ‘terlambat’ selama kau mau menunggu mereka putus,” Erik menimpal.
“Nggak
bisa gitulah,” kataku. “Itu hampir mirip dengan ditinggal nikah, terus kita
bilang ‘nggak ada kata terlambat selama mau menunggu mereka cerai’. Itu seperti
diam-diam mendoakan orang yang kita cintai dilukai oleh pria lain, hanya supaya
dia kembali mengharapkan kita. Seperti itu egois!”
“Ah,
ayolah, aku membicarakan tahap pacaran, bukan nikah. Kalau pacaran dan kemudian
putus, seharusnya tak perlu menimbulkan luka yang terlalu dalam. Kecuali mereka
menjalani pacaran sudah seperti orang menikah, mungkin baru bisa dibilang
lukanya seperti perceraian—mungkin, lho, sebab kita juga belum merasakan
sendiri pernikahan itu bagaimana. Tapi, kupikir Misha tak akan berpacaran
secara ‘kebablasan’, kok.”
“Terus
gimana misalnya saat ini Dimas diam-diam berharap kau putus dari pacarmu? Lu
mau didoain begitu?” tukasku.
“Lho,
itu beda perkara. Buat apa Dimas mendoakan aku putus dari Amanda? Dia ‘kan
sudah punya pacar sendiri sekarang,” Erik berkata begitu sambil sedikit
menggoyangkan dagu ke Fandy.
Dimas
tertawa. Tapi dengan tawa itu aku tak melihat wajah yang sungguh-sungguh terhibur.
Itu seperti tawa yang pahit. Sedangkan Fandy tak tertawa, dia cuma tersenyum
sedikit dengan pandangan agak menunduk ke lantai bale.
“Sepertinya
Denis suka sama Maya nggak, Fan?” sekarang Dimas mencoba mengolokku dengan cara
melemparkan pertanyaan itu ke Fandy, mengungkit soal Maya.
Lalu
kali ini Fandy pura-pura bertingkah ceria; dia mengangkat telapak tangannya ke
dekat mukaku, sambil memejamkan mata. “Biar kuterawang dulu. Oh, dia suka sama
Maya. Tapi dia tidak pede karena mengira Maya pernah lebih dulu jatuh hati
padamu, di samping dia juga masih trauma ditolak Misha.”
Dimas
dan Erik tertawa kompak.
“Oke,
biar kuluruskan,” kataku dengan kesal. “Aku memang suka sama Maya. Tapi kalian mestinya
paham: ‘suka’ tidak otomatis sama dengan ‘cinta’. Suka itu cuma... seperti
kesan awal, yang kurang lebih sama dengan nyaman atau cocok. Tapi cinta butuh
proses lebih dari itu. Aku baru kenal Maya dalam sehari, terlalu cepat untuk
disimpulkan aku jatuh cinta.”
“Aku
tak bilang kamu jatuh cinta,” sahut Fandy.
“Makanya?
Apanya yang perlu ditertawakan?” tukasku. “Cowok mana pun akan nyaman dengan
Maya. Dia cantik, penampilannya menarik, bicaranya sopan dan... kurasa dia juga
cerdas—terus apa yang membuatnya tak disukai?”
Dimas
dan Erik tertawa lagi.
“Untuk
sekadar suka, kamu terlalu banyak memuji dia,” kata Dimas.
“Sudahlah.
Terlalu banyak memuji juga tidak otomatis cinta,” sekarang Fandy pura-pura
menengahi, tetapi sebetulnya tetap saja ucapan itu mengolokku.
Kami
mengobrol banyak sekali malam itu, dan saling ejek satu sama lain adalah
sesuatu yang kadang tak bisa dihindari. Sampai kami lelah, lalu tertidur.
Pagi
hari kami terjaga oleh dengung doa yang berkumandang dalam bahasa tak kukenal.
Dimas memberitahuku bahwa itu doa Tri Sandya, yang dikumandangkan tiga kali
sehari oleh masyarakat Hindu Bali, salah satunya di pagi hari.
Wajah
matahari masih terhalang bukit, tapi sinarnya sudah menyeruak di langit, kuning
emas sedikit pucat oleh kabut. Pelataran tampak basah oleh embun, dilalui oleh
orang yang berduyun-duyun menuju ke pura untuk bersembahyang. Mereka memakai
pakaian adat. Kami memandang dengan muka masih dilapisi sisa kantuk. Dimas
duduk mendekap lutut di sebelah Fandy, menempelkan kepala di pundaknya,
selayaknya pasangan yang ingin memaknai cinta di awal bangun tidur. Oh, aku tak
tahu apa yang kubicarakan. Seingatku, apa pun yang kulakukan saat baru bangun dari
tidur tak pernah kuhubungkan dengan cinta.
Kami
pergi ke warung pertama yang terlihat buka. Kami memesan kopi. Aku tak yakin
apakah kami betul-betul penggemar kopi, tapi sepertinya itu adalah ide paling
tepat untuk membasmi sisa kantuk. Kopi asli Bali, kata penjualnya. Aku tak tahu
apa bedanya dari kopi lain karena selama ini aku tak banyak minum kopi. Tapi
aromanya cocok dengan pagi ini. Kami makan mi instan rebus, dilengkapi telur,
sawi dan tomat, ditambahi bumbu penguat aroma: serai, daun bawang dan brambang goreng. Uap kuah mengepul ke
mana-mana, menyebarkan aroma rempah dan sayuran rebus di antara hawa pagi
pegunungan, beberapa kali bertumbukan dengan aroma bunga kamboja dan dupa
sesajen dari pekarangan. Kami makan-minum sambil bersendau-gurau. Orang-orang
pulang berarakan setelah sembahyang di pura. Burung-burung berkicau dari
perbukitan.
Dimas
mengajak kami untuk naik ke puncak Lempuyang. Kemarin dia sudah ke sana, tetapi
dia ingin menawari kami kesempatan yang sama dan dia rela mendaki ke sana lagi
untuk menemani kami. Melalui jalur Pura Penataran Agung, Telaga Mas, dan Pura
Pasar Agung, maka akhirnya sampailah kami di pura paling tinggi: Lempuyang
Luhur. Tempatnya tidak lebih megah dibandingkan Pura Penataran Agung yang
berornamen naga. Tapi dari pura tertinggi itu kami bisa melihat hampir seluruh
alam Bali. Gunung Agung terlihat seperti begitu dekat, tanpa awan. Atap-atap
rumah dan pura tampak bersembulan di antara hamparan sawah, ladang dan
hutan—menyebar jauh hingga menyentuh pantai-pantai Karangasem yang tampak biru
kelabu. Aku tidak bersembahyang di pura, teman-temanku juga tidak, tapi aku bersyukur
pernah berada di sini—sebuah perhentian untuk meneropong kembali sejauh apa
kami telah mengarungi sebuah pencarian, dan apa yang sesungguhnya kami dapatkan
dari perjalanan ini.
Kami
meninggalkan Pura Lempuyang sekitar jam 11 siang. Kami kembali ke rumah Mas
Komang untuk mengambil barang-barang Dimas yang masih ada di sana, sekaligus
berpamitan dan mengucapkan terima kasih karena sudah membantu kami. Kami
disuguhi cerorot lagi dan kopi pahit. Tapi kami tak bisa berlama-lama, karena
kami harus sudah mengembalikan mobil sebelum jam tujuh petang.
Kami
pun tak bisa mampir-mampir saat melewati Karangasem, padahal kata Dimas Puri
Agung Karangasem layak dikunjungi. Namun, begitu memasuki Bangli, kupikir waktu
masih cukup untuk digunakan mampir sejenak ke manalah. Atas saran Erik, kami
mampir ke Penglipuran.
Penglipuran
adalah sebuah desa adat di Bangli, yang sistem sosial dan arsitekturnya masih sangat
tradisional. Rumah-rumah didirikan menghadap jalan utama, di kiri maupun di
kanan, sehingga setiap rumah saling berhadapan dan hanya dipisahkan jalan
selebar tiga meter saja. Jalan itu lurus memanjang dan berujung pada pura desa;
sedangkan di ujung yang berlawanan terdapat jalan menuju ke setra—kuburan desa. Di belakang
rumah-rumah terdapat kebun bambu yang sangat rimbun—mungkin banyak celuluk di
sana.
Desa
Penglipuran memiliki semacam menara jaga yang dibangun dari batu bata dengan
berbagai ornamen, dan di bagian atasnya terdapat kentongan. Dimas memberi tahu
bahwa itu adalah Bale Kulkul. Keunikan lainnya adalah setiap rumah memiliki
bentuk gerbang yang sama. Kata Dimas, “Orang Bali menyebutnya pemesuan. Artinya ‘jalan keluar’.
Meskipun gerbang itu pada dasarnya juga digunakan sebagai ‘jalan masuk’, orang
Bali lebih memilih menyebutnya ‘jalan keluar’. Yaitu jalan keluar bagi pemilik
rumah, supaya ia bisa berbaur dengan tetangga. Hubungan dengan tetangga, bahkan
dengan masyarakat pendatang, dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali.”
“Makanya
orang asing betah di sini. Sebab orang Bali tuan rumah yang sangat welcome,” tambah Dimas.
Mungkin
karena itu juga Dimas mudah menemukan tempat untuk menginap. Selalu ada teman
yang menampungnya selama di sini. Dan entah teman yang mana, yang mengajarinya
menjadi guide. Oh, Mas Awan
barangkali.
Setelah
puas berkunjung dan berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan lagi. Kami sempat
mampir di Tegalalang: areal sawah berbukit-bukit, dan kurasa aku pernah melihat
pemandangan ini dipakai di sebuah iklan. Kami berfoto-foto lagi. Kemudian perjalanan
berlanjut lagi hingga kami tiba di Ubud.
Kami
masuk ke jalan Sriwedari yang sore itu diramaikan anak-anak yang sedang
berpawai menabuh gong dan meniup suling mengiringi penari Barong. Kelihatannya
mereka dari semacam sanggar setempat yang sedang berlatih—di jalanan. Kami
mampir ke rumah Mas Angga. Kali ini kami tidak perlu kelamaan bingung di depan
gerbang, karena kami masih ingat letak belnya: di sisi samping pemesuan. Istri Mas Angga yang
membukakan gerbang, menyambut kami, lalu mengajak kami masuk ke rumah utama.
“Syukurlah
kalian selamat, dan bisa bertemu lagi,” kata Mas Angga, saat kami beramah-tamah
di beranda. Obrolan kami sempat melebar ke mana-mana, seperti umumnya sebuah
kunjungan tanpa keperluan resmi. Hingga akhirnya, setelah berbagai basa-basi,
Mas Angga mengutarakan pendapatnya yang ini: “Saya kira, bagaimanapun Tuhan
pasti akan adil memandang setiap masalah yang dihadapi manusia. Apa yang kita
sebut sebagai ‘pantangan-pantangan’ itu tujuannya bukan untuk menakuti,
melainkan supaya kita selalu introspeksi sebelum bertindak ataupun sekadar
berucap.”
Kami
mengucapkan terima kasih kepada Mas Angga atas semua bantuannya. Lalu kami
berpamitan, karena tak lama lagi kami segera pulang ke Jawa. Setelah itu, meskipun
Mas Angga mengharap kami bisa berkunjung lagi di lain waktu, entah apakah kami
akan pernah memiliki kesempatan untuk bertemu lagi.
“Lain
kali semoga kita bisa tampil bersama lagi,” kata Dimas. “Atau, siapa tahu suatu
saat Mas Angga dan ‘Pager Wangi’ tampil di Solo. Di Solo banyak event seni. Kabari kami, lho!”
Mas
Angga tertawa mengamini.
Sebelum
meninggalkan rumahnya, kami diberi kenang-kenangan berupa kerajinan tangan
buatan pabriknya. Kami dipersilakan memilih sendiri pernak-pernik kerajinan tangan
itu. Aku tak tahu apa yang kupikirkan saat memilih boneka kura-kura yang
kepalanya bisa goyang-goyang. Aku juga tak terlalu memperhatikan pilihan
kawan-kawanku, tapi kulihat Dimas memilih gantungan kunci berbentuk penis yang
dicat berbintik-bintik. Jalan pikiran saudara kembarku memang sering aneh. Di
sepanjang perjalanan, dia dan Fandy berhaha-hihi di jok belakang. Aku senang
sih melihat mereka bahagia, selagi mereka bisa bahagia—tapi tidak dengan penis
aneh berbintik-bintik itu! Beberapa kali Dimas sengaja membuatku jijik dengan
cara mencolek-colekkan benda itu ke punggungku. Ingin kurebut lalu kubuang saja
benda itu ke jalan.
Kami
tiba di Gianyar pukul 5 sore. Kami mengembalikan mobil ke tempat rental. Erik
menawari kami menginap di Gianyar. Awalnya aku menolak. Tapi kemudian kupahami
bahwa sudah terlalu sore untuk melanjutkan perjalanan. Mobil sudah dikembalikan
ke tempat rental; jika mau melanjutkan perjalanan, sudah tak ada lagi kendaraan
umum kecuali taksi dan ojek yang biayanya akan amat mahal. Aku terpaksa setuju menginap,
Dimas dan Fandy juga.
Erik
mengajak kami ke markas komunitas backpacker
yang telah membantunya selama di Bali. Tempatnya cuma lima menit jalan kaki
dari rental mobil tadi. Markas itu tak lain adalah sebuah penginapan murah;
bagian depannya berhalaman lebar dan setiap sore hingga malam dipakai untuk
berjualan Nasi Jinggo. Banyak anak muda nongkrong di tempat itu, makan dan
minum sambil bermain gitar. Beberapa dari mereka menyambut Erik dengan seruak
ramah.
Kami
berkenalan dengan banyak orang di markas itu. Tapi kemudian aku tak terlalu
mengingat mereka, selain karena terlalu banyak orang juga karena kami hanya
menginap semalam di tempat itu. Yang kuingat: Cecile dan Fillipe sudah tak ada
di situ. Mungkin kami juga tak akan pernah berjumpa mereka lagi.
Begitulah,
sebuah perjalanan tak terlupakan telah mempertemukanku pada orang-orang yang
tampaknya tak akan pernah kutemui lagi. Aku sedih. Tapi, betulkah itu perlu
disedihkan? Mereka orang-orang baik dan ramah, tapi betulkah perlu menjadikan
mereka bagian dari hidup kita seterusnya? Aku tak tahu. Aku tak yakin. Tapi aku
sedih. Yah, pokoknya sedih....
Erik
dan Fandy sedang bersama anak-anak lain di lesehan Nasi Jinggo, sementara aku
di beranda dengan Dimas. Dimas tersenyum-senyum menguping obrolan di halaman,
tak terlalu peduli padaku meski kami duduk di bangku yang sama.
“Kok
nggak gabung dengan mereka?” tanyaku.
“Aku
mau lihat saja, seperti apa kalau Fandy bersama Erik, tanpa ada kita di sana,”
ucapnya—sekilas pandangannya seperti ke arah mereka berdua, tapi aku merasa kalau
dia menerawang lebih jauh dari itu.
“Kalian
bicara apa saja saat di Lempuyang kemarin—kamu sama Fandy?” aku menyelidik. Ya,
saatnya menyelidik.
Dia
terdiam beberapa lama sebelum menjawab: “Tak apa-apa.”
Aku
yakin ada apa-apa. Jika masalahnya tak serius, kurasa dia akan membalas seperti
kecenderungannya: “bukan urusanmu”, atau “rahasia, dong”, atau “mau tahu saja”.
Saat dia menjawab “tak apa-apa”, itu justru seperti ada apa-apa dan itu serius.
Dia mau menutupi sesuatu dariku.
Dia
mengalihkan pembicaraan dengan mengajukan usul bahwa sebisa mungkin kami perlu
menyempatkan diri berpamitan pada Mas Dika sebelum meninggalkan Bali; syukur
jika bisa berpamitan dengan Mas Awan pula; sebab mereka berdua sudah banyak
membantu kami. Aku tak keberatan, selama tak menginap lagi.
“Sebaiknya
kita cepat pulang. Papa dan Mama mungkin sabar pada kita. Tapi Fandy nggak bisa
lama-lama pergi,” jelasku.
Dimas
tak mengungkit Fandy. Dia pilih mempersoalkan situasi Papa dan Mama. “Kamu sudah
menghubungi Papa atau Mama?”
“Sebetulnya
Papa sudah SMS pagi tadi,” kataku.
“Papa tanya apakah kamu sudah ketemu.”
“Terus?”
“Aku
jawab ‘sudah’. Tapi aku minta Papa supaya jangan beri tahu Mama dulu. Soalnya
Mama itu gampang panik, dan kalau ada sesuatu, berita baik sekalipun, bawaannya
pasti mau buru-buru saja. Biar Mama tahu saat kita betul-betul sudah pulang
nanti, biar Mama sendiri yang langsung melihat kau sudah pulang.”
“Terus?”
“Papa
setuju. Tapi Papa pengin bicara denganmu. Aku bilang nanti malam saja, soalnya tadi
kita masih di perjalanan.”
“Berarti
seharusnya sekarang?”
“Kalau
kamu sudah siap,” kataku.
Dimas
terlihat bimbang. Tapi kemudian mengangguk. “Ini memang tanggung jawabku, untuk
menjelaskan ke Papa,” ucapnya pelan.
Benar.
Aku
mengirim SMS ke Papa. “Bisa tlpn skrng, Pa? Dimas pngn ngomong.”
Beberapa
menit kemudian Papa menelepon. Langsung kuserahkan ponselku ke Dimas. Dia
membawa ponselku menyingkir ke tempat sepi. Aku mengikutinya—ke kamar yang kami
pakai untuk berempat malam ini. Tapi aku cuma berdiri di muka pintu. Kubiarkan
Dimas bicara dengan Papa tanpa campur tangan siapa pun.
Mereka
bicara cukup lama. Awalnya ada nada bicara yang ragu-ragu dari Dimas.
Terbata-bata. Beberapa saat kemudian mulai ada nada tertawa. Nada hangat. Lalu,
di tengah semua percakapan itu, bisa kulihat mata Dimas mulai memerah.
Berkaca-kaca. Aku mendengar beberapa dan bisa menerka apa saja yang mereka
bicarakan. Kurasa kau juga bisa membayangkannya sendiri, jadi tak perlu
kuceritakan kata per kata padamu tentang apa yang kudengar dari mereka. Kau
pasti bisa membayangkannya.
Lebih
dari setengah jam mereka bicara. Setelah pembicaraan mereka selesai, aku
menghampiri Dimas yang masih duduk di pinggir ranjang. Dimas memberikan kembali
ponselku.
“Uang
sakumu masih?” itulah yang diucapkannya pertama kali padaku setelah selesai
bicara dengan Papa.
“Buat
pulang, masih.”
“Kalau
habis, disuruh minta ke Papa.”
“Masih,”
kataku. “Papa sudah banyak keluar uang.”
Dimas
mengangguk. Lalu dia kembali emosional. Menyeka matanya. Tersengguk.
“Sudahlah.
It’s okey,” kataku. Di sampingnya.
Kau
mungkin pernah mendengar cerita populer tentang anak yang hilang. Dia adalah
anak dari sebuah keluarga kaya. Kedua orang tuanya memanjakannya, karena berpikir
bahwa memanjakan adalah sebuah cara menunjukkan kasih sayang. Tetapi, rupanya menyayangi
tak berarti harus memanjakan, sebab, ketika tumbuh dewasa, ternyata anak itu tidak
tumbuh sebagai anak yang penuh kasih sayang sebagaimana kedua orang tua
memperlakukannya selama ini. Dia malah menjadi pemuda yang kurang ajar. Dia tak
mau mengenal kerja keras, sementara itu dia malah terus-menerus menghamburkan
harta orang tuanya untuk kesenangannya sendiri. Akhirnya, orang tuanya tak
tahan lagi. Sang ayah mengusir anak itu.
Anak
itu bersedia pergi, tapi dengan menggondol banyak harta orang tuanya. Di
perantauan, dia terus menghamburkan harta itu demi berfoya-foya. Hingga akhirnya,
bertahun-tahun kemudian, tak ada lagi harta berharga tersisa padanya. Dia
menjadi miskin sekarang. Dia menjadi gelandangan. Dan dia tak lagi dihormati
oleh orang lain mana pun.
Dalam
kemiskinannya, dia mulai teringat kedua orang tuanya, teringat kasih sayang mereka,
bertahun-tahun yang lalu. Dia menangis. Menyesal. Sekarang dia tahu, bahwa uang
ataupun hal duniawi apa pun tak pernah abadi. Tetapi, ingatan tentang cinta dan
kasih sayang, itu akan abadi, dan itu akan menghantui ketika kau kehilangan.
Terbersit
dalam benaknya untuk pulang, untuk meminta maaf atas semua kedurhakaannya.
Namun dia ragu: apakah kedua orang tuanya masih sudi melihatnya? Sesungguhnya,
dia sendiri merasa tak pantas untuk menunjukkan muka di hadapan orang tuanya.
Namun, dia tak ingin menanggung dosa tanpa pernah menyempatkan diri meminta
maaf, sekalipun dosa itu nanti tak dimaafkan.
Suatu
hari, dia menemui salah satu pelayan ayahnya di pasar, dan menitipkan surat
untuk ayahnya. Di surat itu dia menulis, “Ayah,
Ibu, aku sungguh merindukan maaf dari kalian. Jika Ayah dan Ibu menerima
permohonan ini, cukup ikatkan sehelai kain putih di satu pohon depan rumah. Itu
saja cukup. Aku akan bisa melihatnya dari kejauhan. Setelah melihatnya, aku
akan bisa berlalu dengan hati yang lebih damai. Dari seorang anak yang durhaka
bertahun-tahun lalu.”
Keesokan
harinya, dia berdiri di kejauhan untuk melihat adakah tanda maaf itu telah
diikatkan di pohon depan rumah. Namun, dia tak melihat sehelai kain putih di
sana. Yang dia lihat adalah semua pohon di pekarangan itu dibungkus dengan kain
putih. Semua pohon. Dan di bawah pohon-pohon itu meja-meja telah ditata dengan
penuh makanan serta minuman. Orang-orang berbondong-bondong ke sana, dan anak
itu bertanya ke salah satunya, “Ada apa di sana?” Yang ditanyai menjawab,
“Pemilik rumah itu mengadakan pesta besar, sebab anaknya yang telah lama pergi
hari ini akan pulang.”
Aku
tak tega menyebut Dimas durhaka. Dia tak sedurhaka anak di cerita itu.
Penyesalannya lebih mudah untuk dimaafkan. Jadi dia tak perlu minta seikat kain
putih di pohon belimbing depan rumah. Kalaupun dia memintanya, aku juga tak
yakin Papa akan mau repot-repot membungkusi semua pohon di halaman rumah dengan
kain. Sebab, tak ada masalah yang tak bisa dibicarakan. Beberapa masalah memang
hanya bisa dibicarakan di meja hijau, tetapi untuk perbuatan Dimas kurasa percakapan
di telepon sudah cukup. Bukan begitu?
Yeah,
ayah kami terlalu sering kalah saat badminton. Dia tak punya suara yang patut
untuk menggertak orang; tak punya riwayat pernah belajar bela diri; suka
terlambat menyadari bensin di motornya habis; lebih sering disalip daripada
menyalip saat menyetir mobil. Tapi, kami tak pernah tidak bangga padanya.
Setidaknya Papa tidak fals kalau menyanyi. Papa juga tidak pernah pelit dalam
memberi uang, dan tak pernah mengeluh dompetnya menipis, meski dia bilang
gajinya tak terlalu besar—jika targetnya adalah beli mobil baru. Dan, yang
terpenting dalam hal ini, Papa adalah orang pemaaf.
Mama?
Ya, Mama memang lebih emosional dan sering tergesa-gesa dalam melakukan
sesuatu, dan seringkali juga memaksa, memerintah, minta dituruti. Tapi Mama
selalu bermaksud baik. Dia ingin menghadirkan kebaikan untuk orang lain,
anak-anaknya, hanya saja kadang dia terjebak pada sudut pandangnya sendiri. Dan
Mama juga orang yang bisa memaafkan, meski lebih butuh waktu. Dan kurasa Mama
sudah memanfaatkan waktunya. Mama sudah memaafkan Dimas. Dimas juga sudah
memaafkan Mama. Aku percaya itu.
Tetapi,
“Bagaimana dengan orang tuamu nanti? Apakah mereka bisa memaafkanmu?” tanyaku,
pada Fandy, ketika aku punya kesempatan berdua dengannya, mempertanyakan
masalah yang sebelumnya juga sudah pernah kutanyakan. Kali ini aku betul-betul
ingin dia memikirkannya dengan lebih serius.
“Sudah
kubilang, mereka pasti akan marah,” jawabnya enteng. “Tapi mereka sudah
terlambat untuk mencegahku pergi, ‘kan? Aku sudah pergi. Lalu, aku juga sudah
kembali.”
“Apakah
mereka serius akan memindahkan sekolahmu?”
Dia
mengangguk pelan. “Sepertinya serius. Tapi, yang penting Dimas sudah kembali,
‘kan?”
“Fan,
sebetulnya... lu tuh bodoh,” desahku dongkol dan malu, pada diriku sendiri. “Aku
ngerasa bersalah membiarkan lu ikut kemari.”
Dia
malah tertawa. “Kau juga sudah terlambat untuk mencegahnya. Jadi, tak ada yang
perlu disesali. Biar masalah dengan keluargaku kuhadapi sendiri.”
“Nggak
bisa gitu....”
“Terus?
Memangnya kamu mau ikut menjelaskan ke orang tuaku?”
Aku
kikuk, dan sebetulnya juga tak yakin dengan jawabanku: “Kamu sudah ikut membantu
keluargaku, Fan. Apa aku mesti membiarkan kau sendirian menghadapi keluargamu?
Apa itu adil?”
Lebih tepatnya: “Apakah itu
menunjukkan solidaritas?”
“Biarkan
kutangani dengan caraku. Dengan begitu, kalian sudah membantuku, kok.
Percayalah.”
“Tapi...
cara yang mana? Membohongi mereka bahwa kamu cuma main-main di Jogja?” tukasku.
“Apa
pun nanti yang akan kupakai sebagai alasan, aku sudah tahu hasilnya, kok. Jadi,
sebetulnya aku nggak tegang-tegang amat. Aku sudah siap.”
“Sudah
tahu hasilnya?” selidikku tak mengerti.
Dia
tersenyum memaling ke arah lain, mendesah, “Yah, kurasa aku memang akan pindah
sekolah. Aku tak akan di Solo lagi. Intinya begitu.”
“Dan...
itu nggak masalah buat lu?”
Dia
menghela napas, lalu tertawa lagi perlahan. “Bukankah toh Dimas sudah lulus?
Toh aku tak satu sekolah lagi dengannya, tho?
Jadi apa ruginya aku pindah ke sekolah lain? Yang rugi adalah orang tuaku, karena
mereka akan keluar uang banyak untuk memindahkan sekolahku.”
Lalu
dia tertunduk. Aku curiga dia sebetulnya sedang menutupi sesuatu dariku, dan cuma
pura-pura tegar menghadapi masalahnya.
“Kau
membicarakan sesuatu dengan Dimas saat di pura kemarin?” aku mencecar
pelan-pelan.
“Tentu
saja aku berbicara dengannya. Memangnya harus diam saja setelah bertemu?”
jawabnya dengan delikan sedikit konyol—aku tak berharap dia mulai menyebalkan
lagi.
“Maksudku,
kalian membicarakan sesuatu, dan...
bukan lebih banyak melakukan sesuatu.
Begitu maksudku,” aku meluruskan, dengan bicara yang justru belepotan—dan
kusadari itu ‘cara meluruskan’ yang justru tidak lurus.
Dan
Fandy pun memanfaatkannya untuk sesuatu yang di luar konteks: “Yah, kami
membicarakan sesuatu, tapi tentu dengan tetap melakukan sesuatu... berciuman
misalnya, dan saling berpelukan....”
“Aku
tak tertarik adegan ciuman kalian!” potongku. “Aku ingin tahu apa saja yang
kalian bicarakan, setelah berpisah dengan cara yang....”
“Kenapa
tak bertanya saja padanya?” dia balas memotong kalimatku yang belum selesai.
“Aku
memilih untuk bertanya padamu lebih dulu, sebelum bertanya padanya. Sebab masalah
Dimas sudah selesai, tak ada yang perlu dicemaskan lagi. Tapi lu, masalah lu
belum selesai. Bahkan mungkin baru akan dimulai!”
Dia
memandangiku. Dia seperti ingin membuatku melihat bahwa tak ada kecemasan di
wajahnya. Tapi dia salah, menurutku raut wajahnya tak sepenuhnya bebas dari
rasa cemas. Kutandaskan padanya, bahwa meskipun aku tak punya bakat
supranatural, aku tidak bodoh untuk memahami bahwa sesungguhnya ada yang
membuat dia cemas. Tak ada gunanya dia menutup-nutupi lagi.
Lalu
akhirnya dia mau mengaku. “Kali ini, kami betul-betul putus. Dan kali ini
karena kemauanku.”
Aku
termangu agak lama oleh pengakuan itu.
“Perjalanan
ini bukannya tak memberiku apa-apa. Banyak yang bisa kurenungkan, Den,” ulasnya
pelan-pelan. “Kalian memang beruntung, orang tua kalian—akhirnya—bisa memahami
Dimas dan menerimanya. Orang tuaku mungkin butuh lebih banyak waktu. Dan selama
ini aku marah dan membangkang karena kupikir mereka tak mau mengerti. Tapi,
betulkah itu berarti bahwa mereka tak menyayangiku? Bukankah merekalah yang
telah membesarkanku, mendidikku, menyekolahkanku, menjadikanku anak yang layak
dicintai—termasuk dicintai oleh kakakmu? Berapa tahun yang sudah mereka lalui
untuk itu? Aku sudah mau 18 tahun sekarang. Lalu berapa lama yang sudah kulakukan
untuk membuat mereka mengerti pilihanku? Apakah melebihi waktu yang mereka
pernah berikan lebih dulu? Jauh dari melebihi: aku bahkan belum melakukan apa
pun, selain marah... dan minggat.”
Aku
mengangguk, tak mau menyanggah cara berpikirnya. Omongannya tidak salah. “Lalu,
selanjutnya apa?” tanyaku.
“Yah,
aku akan pulang. Aku akan meminta maaf ke mereka. Dan aku bersedia pindah
sekolah, jika mereka memang berniat membuang uang demi memindahkan sekolahku. Kali
ini aku tak akan berontak. Aku akan mengalah untuk menuruti cara pandang mereka
lebih dulu, dengan harapan pada gilirannya nanti mereka akan menerima cara
pandangku. Satu hal tak akan kuubah: aku mencintai Dimas. Tapi saat ini aku
masih seorang anak yang ada di bawah tanggung jawab orang tua. Meskipun aku tak
mau perasaanku disalahkan, bagaimanapun aku punya keluarga dan aku bagian dari
mereka, dan sudah seharusnya aku hidup bukan untuk mengecewakan mereka.”
“Meskipun
mereka mengecewakanmu, ‘kan?” simpulku, tanpa maksud memprovokasi—hanya
berusaha memahami perasaannya.
Dia
menunduk. “Orang tuaku sudah pernah kehilangan anak, sebelumnya. Kakakku.
Apakah aku harus membuat mereka merasa kehilangan lagi? Aku sendiri bahkan juga
merasakan sakitnya kehilangan saat Mas Bagas meninggal. Aku tak ingin
memberikan perasaan seperti itu lagi kepada orang tuaku.”
Aku
terdiam. Aku tak mungkin sanggup menyanggah, dan sejak semula memang aku tak
berhak menyanggah. Aku hanya merasa sedih karena tak bisa membantunya secara
lebih berarti.
“Lalu,
apa kata Dimas?” tanyaku.
Dia
tersenyum. “Dimas mendukung keputusanku. Kami sama-sama sudah mengecewakan
keluarga, ‘kan?”
“Tapi
apakah berarti kalian memang harus putus—lagi?”
“Jujur
saja, hubungan dalam situasi seperti ini akan sangat melelahkan. Aku tak bisa
melakukan keduanya sekaligus. Aku tahu kedua orang tuaku seperti apa. Kurasa,
sudahlah, sekarang biar kulayani dulu keluargaku. Bagaimanapun, dari hatiku
yang terdalam, aku juga tak ingin kehilangan mereka.”
Aku
termangu lama. Kemudian aku mengucapkan sesuatu yang membuat diriku sendiri
sedih: “Bedanya... keluargamu tak akan merindukan Dimas. Sedangkan kami, pasti
merindukanmu.”
Dia
tak mengolokku karena kata-kata itu. Dia cuma tertawa, lalu berkata, “Makasih,
ya, Den.”
Aku
bertanya apakah masih ada kemungkinan suatu saat nanti mereka berdua bersama
lagi. Dan dia menjawab: mungkin, jika situasi membaik, dan jika Dimas tak
memilih lelaki lainnya.
“Aku
membebaskannya, seperti yang sudah lebih dulu dia coba lakukan padaku. Dia
boleh memilih siapa pun yang menurutnya lebih baik untuknya. Kurasa, bukankah
terlalu serakah kalau aku menganggap bahwa hanya dirikulah yang bisa membuatnya
bahagia?” Fandy mengatakannya disertai derai tawa—yang sayangnya tak bisa
mengurangi sedihku.
“Apakah
Dimas tak mencoba mempertahankanmu, sedikit pun?”
Dia
tersenyum. “Ya. Dia mencoba. Di surat yang dulu dia tulis padaku, dia juga
sudah mencoba melihat kembali peluang yang kami miliki. Aku sempat berpikir,
bahwa kami memang masih punya peluang. Tapi... kemudian kami berpikir bahwa itu
adalah peluang yang akan sangat melelahkan. Pada akhirnya, bersikap realistis
memang penting, Den. Untuk sementara, ini adalah masa di mana kami harus
mengalah. Atau... mungkin memang untuk seterusnya....”
Percakapanku
dengan Fandy malam itu betul-betul membuatku sedih. Sebab, setelah Fandy jauh-jauh
ikut mencari kekasihnya, dan kemudian berhasil menemukannya, ternyata hanya
untuk berpisah lagi darinya. Putus. Putus untuk yang kedua kali. Dan sepertinya
kali ini mereka betul-betul putus.
Aku
bertanya-tanya: “Lantas, apa arti semua jerih payahnya?”
Dimas
menjawabku saat aku mempertanyakan itu kepadanya, “Artinya: dia sudah
membuktikan bahwa dia sanggup hadir di saat-saat yang sulit, untuk menemani
kita. Saat kita telah pulang dan berkumpul di rumah, dia akan pergi.”
“Dan
kau membiarkan dia pergi?”
“Karena
dia meminta, dan aku percaya dia kuat,” kata Dimas.
“Bagaimana
kalau kalian tak akan pernah bertemu lagi?”
“Aku
tak percaya itu. Tapi kalaupun itu terjadi, aku pun harus kuat.”
Sebetulnya
aku sulit memahami hubungan mereka. Aku tak pernah berpikir ada cinta yang
seperti itu. Cinta yang sepertinya terlalu tua untuk mereka. Cinta yang
sepertinya terlalu mistik bagiku. Tapi... katanya, cinta memang bukan logika.
“Kenapa
sepertinya kau tak rela?” tanya Dimas.
“Karena...
aku tahu, kepergiannya akan membuatmu sangat sedih. Aku tahu, kau pun sebetulnya
tidak rela.”
“Ya.
Memang tidak. Tapi, ini adalah saatnya mengalah...,” kata Dimas perlahan,
terbata. Matanya mulai berkaca-kaca lagi. “Bagaimana aku bisa rela...
membiarkan dia pergi seorang diri setelah semuanya ini...?”
Ckrkkk....
Pintu kamar terbuka. Fandy di ambang pintu. Dia menatap kami.
“Kamu
tidak apa-apa?” dia bertanya, saat mendapati wajah Dimas terlihat begitu sedih.
Dimas
menyahut, “Tidak apa-apa.”
“Kemari,”
kataku.
Fandy
mendekat. Aku merangkulnya. Aku merangkul Dimas. Kami berangkulan bertiga.
Kataku,
“Apa pun yang terjadi nanti di antara kalian, jangan ada yang saling melupakan.
Kalian ingin tahu apa yang telah kurenungkan dari perjalanan ini? Dengar
baik-baik. Jika saat ini di keluarga kita ada Papa, Mama, dan dua anak laki-laki,
maka aku akan bilang: tidak. Mulai saat ini, ada tiga anak laki-laki di
keluarga kita, dan meskipun nanti kita saling terpisah, kita tak boleh saling
meninggalkan. Apa pun yang terjadi.”
Karena sahabat memberikan kasihnya
setiap waktu, dan menjadi saudara dalam kesusahan.
***
Pagi
kami meninggalkan Gianyar. Erik memutuskan ikut. Kami berpamitan kepada
teman-teman di komunitas backpacker
yang secara tak langsung juga sudah ikut membantu menemukan Dimas—berkat
bantuan mereka kami bisa dengan mudah mendapatkan mobil sewaan. Kami berempat
menuju ke Ubung menggunakan angkutan umum.
Semalam
aku sudah lebih dulu mengirim pesan ke Mas Dika bahwa kami akan mampir ke sana
lagi sebelum pulang ke Jawa, dan bahwa Dimas sudah bersama kami. Dari Ubung
kami meneruskan perjalanan memakai taksi. Setidaknya kami naik taksi tidak
sejak dari Gianyar, jadi ongkos lebih hemat, meski sebetulnya tetap tergolong
mahal. Dimas yang membayar dan dia tak mau dibantah; sepertinya sengaja mau
pamer bahwa dia banyak uang.
“Kalian
sudah keluar banyak uang untuk mencariku,” katanya. “Sekali-sekali biarlah aku
membayar untuk kalian.”
Kami
tiba di Nagari sekitar jam 10 pagi. Kami disambut oleh Durus di pagar. Dia
mengoceh banyak sekali saat melihat Dimas datang bersamaku. Dia
membanding-bandingkan wajah kami dan sebagainya. Dia juga minta langsung
diceritai tentang bagaimana kami bertemu Dimas. Tapi kupikir itu akan menjadi
cerita yang agak panjang untuk diomongkan di halaman. Jadi kutunda ceritaku.
“Mas
Dika ada, ‘kan?”
“Ada.
Bli semua sudah ditunggu-tunggu. Ayo
masuk!”
Mas
Dika menyambut kami di kafe. Kami bersalaman dengannya; dia dan Dimas
berpelukan, sedetik saja dan itu cukup. Kami beramah tamah, dan sekaligus
memperkenalkan Erik—bahwa dia berangkat dari Jawa bersama kami, dan dialah yang
menyetir mobil dari Batu Bulan sampai Lempuyang, lalu kembali lagi ke Gianyar.
Aku tak menjelaskan bahwa Erik adalah orang yang pernah mematahkan hati Dimas
di masa lalu, tapi sepertinya aku sudah pernah keceplosan soal itu.
“Akhirnya
kalian bertemu di mana?” Mas Dika bertanya dengan antusias, minta diceritai dan
memutuskan bahwa tempat paling nyaman untuk berbagi cerita adalah di sofa
beranda sambil minum-minum—gagasan yang tak perlu dibantah. Kami juga ditawari
sarapan, tetapi kami sudah sarapan di Gianyar.
Aku
dan Fandy bercerita bergantian. Tentang Mas Angga di Jalan Sriwedari, yang bel
pintu gerbangnya tersembunyi—dan Dimas membawa penis berbintik-bintik dari sana;
tentang Mas Komang yang bermuka preman dan sepertinya penggemar fanatik cerorot; dan tentang apa pun yang kami
dapati di Pura Lempuyang.
“Persis
seperti yang ada di mimpiku,” kata Fandy saat membahas pura itu. “Yah, tak
mirip-mirip amat, sih, sebetulnya....”
“Ada
insiden?” selidik Mas Dika, menunjuk wajah Dimas. Sisa memar.
“Mmhh, kecelakaan kecil waktu trekking di Batur,” Dimas mereka
penjelasan, “tersodok pancang tenda....”
“Denis
memukulnya,” Fandy langsung menyambar.
“Oou....”
Mas Dika terperangah. “Serius? Kenapa harus....”
“Dia
memang emosional,” Fandy menjelaskan lagi tanpa bisa dicegah, meski kulihat
Dimas sudah menginjak kakinya. “Itu bisa dimengerti. Dia sudah kehilangan
separuh jiwanya selama berbulan-bulan, merasa terkhianati, dan ketika dia
melampiaskannya lewat sebuah pukulan, sebetulnya itu hanyalah bentuk lain dari
ungkapan rasa sayang. Rasa sayang yang tercabik-cabik, tepatnya.”
Aku
jadi ingin memukul satu orang lagi. Tapi Mas Dika tertawa terbahak-bahak dan
begitu pula Erik. Durus ikut menimbrung, “Ya ampun, Ida Batara... kok Bli
tega sekali sama saudara sendiri?”
“Biarin,”
tukasku.
“Tapi
lihatlah, mereka sudah akur. Lebih cepat dari pasangan kekasih mana pun,” Fandy
terus mem-bully aku dan Dimas.
“Kadang aku merasa bersalah merebut Dimas darinya.”
“Apalagi
Misha juga menolaknya,” Dimas menyahut, memilih di pihak Fandy untuk meledekku.
Ada
banyak hal yang kami cakapkan di pagi menjelang siang itu, di beranda Nagari.
Ada banyak canda tawa. Dan sedikit demi sedikit kami pun menyicil suatu
kerinduan yang akan timbul di masa mendatang, yaitu bahwa kami pernah bertemu sahabat-sahabat
yang begitu hangat dalam sebuah perjalanan ke Bali. Beberapa kali aku pun
berpikir, andai Dimas tak pernah minggat,
mungkin aku pun tak akan pernah bertemu mereka. Bukan, itu bukan soal
penyesalan.
Rupanya
rencana-rencana telah disiapkan dengan sigap siang itu, tanpa sepengetahuan
kami. Setelah ramah tamah yang panjang dan menyenangkan, pukul 4 sore teman-teman
Dimas dari band yang dia sebut “The Bats”
datang. Mereka reuni, dan dengan senang hati akan bermain sore itu sebagai
bagian dari pesta perpisahan. Kami terharu.
Pukul
5 sore langit sudah mulai teduh dan sinar mentari tidak terasa panas lagi. Para
kelelawar itu mulai menabuh musik di panggung. Dimas, seperti biasa, bermain
dengan gitar akustik. Dia mengundang Erik untuk ikut naik ke panggung, supaya
bisa ikut menunjukkan suaranya yang bagus.
Halaman
Nagari meramai. Beberapa pejalan kaki mampir untuk melihat. Beberapa di
antaranya adalah turis-turis asing yang tampak antusias menonton The Bats di
panggung. Sebagian menonton dari beranda sambil pesan makan-minum. Sebagian
membawa minumannya ke halaman. Banyak momen ketika kami kemudian bernyanyi
bersama, tak peduli apakah kau adalah
bagian dari The Bats, tak peduli apakah kau hanyalah petualang yang sekadar
mampir, tak peduli apakah kau orang asing. Sejak kalimat “let’s get the party started”
diteriakkan, semua bersenang-senang di sore yang cerah di halaman!
Lalu,
sore sudah menjadi temaram ketika Dimas mengundang seseorang untuk naik ke
panggung. “Aku ingin mengundang seseorang untuk naik ke panggung. Kami sangat
dekat, dan pada dasarnya tak dapat dipisahkan. Dia orang yang sangat pemalu.
Tapi aku tahu dia juga bisa memainkan musik dengan baik. Jadi, ayolah, naiklah
ke panggung, dan bawa harmonikamu!”
Aku
langsung tahu siapa yang dimaksud Dimas. Aku mendorong Fandy.
“Tidak,
nanti malah kacau!” Fandy menolak.
Durus
dan Erik turun dari panggung untuk ikut menggeret Fandy. Teman-teman di panggung
juga sudah berteriak-teriak, “Maju! Maju! Maju!” Aku harus repot-repot menuju
ke dalam sejenak, ke tempat tas-tas kami dititipkan, untuk mengorek isi tas
Fandy dan menemukan harmonikanya. Saat aku kembali ke halaman, Fandy sudah di
panggung. Aku mengulurkan harmonikanya dari bawah panggung.
Kami
bertepuk tangan. Fandy berbisik-bisik dengan Dimas beberapa saat, lalu, dengan
agak grogi dan malu-malu, dia mengatakan sesuatu di depan mic. “Oke. Terima kasih. Jadi... saya akan memainkan satu intro,
saya tak akan menyebut judulnya, tapi semua yang memegang instrumen harus bisa
mengiringi lagu ini—itu adalah konsekuensi dari memaksa saya untuk naik kemari.
Dan siapa pun yang tahu lagu ini, harus ikut menyanyi. Sebab saya memilih lagu
ini sebagai persembahan untuk kalian semua—teman-teman yang aku cintai!”
Semua
menyambutnya dengan tawa dan tepuk tangan berderai. Dan tepuk tangan kian
bergemuruh ketika Fandy mulai meniup harmonikanya, memainkan intro yang dengan
cepat disahut oleh semua personel band di belakangnya. Ya, semua orang di
panggung itu rupanya tahu lagu itu, dan itu seperti permainan sihir yang
dilakukan Fandy untuk memukau kami semua. Atau, mungkin karena The Bats memang
band profesional tulen; silakan mainkan intro apa saja, mereka pasti bisa
menyahutnya. Kurasa mereka pasti akan memakai slogan ini: “Kau sebut judulnya,
kami akan mainkan!”—jika itu tak terdengar norak.
Kudengar
orang-orang bernyanyi, baik yang di atas panggung maupun yang di bawah. Kecuali
yang tak tahu lagu itu. Seperti aku. Aku tak bisa menangkap dengan jelas lirik
yang mereka lantunkan secara berjamaah. Namun, pada bagian tertentu, lirik itu
kemudian terdengar begitu jelas. Dan aku mendengar itu berbunyi: “That’s what friends are for....”
Kulihat
orang-orang bergandengan tangan. Sebagian dari mereka mengangkat korek api yang
menyala, dan mengayun-ayunkannya dengan syahdu di udara.
Dan,
seseorang menghampiriku. Lalu, tanpa dimulai dengan kata-kata, kupegang
tangannya. Dia tersenyum. Peganganku dibalasnya. Tangan kami bergandengan erat.
“Kenapa
tak ikut naik ke panggung?” tanya Maya padaku.
“Menurutmu,
mereka berdua serasi?” balasku, bukan dengan jawaban atas pertanyaan yang
dilontarkan Maya—yang kali ini mengurai rambutnya.
Maya
tertawa kecil. “Aku sulit menanggapinya. Tapi, sepertinya lebih sulit untuk menyangkal
bahwa mereka saling cinta, setelah pencarian yang begitu jauh diperjuangkan.”
Aku
tertawa. “Aku mendukung mereka, tetapi dengan banyak syarat. Salah satunya:
jangan pernah menyuruhku naik ke atas panggung untuk menyanyi.”
“Kenapa?”
“Aku
lebih suka berada di bawah atau di belakang panggung.”
“Iya,
tapi kenapa?”
“Mungkin
inilah ciri khasku,” jawabku sambil sedikit membusungkan dada. “Kecuali jika
benar-benar terpaksa.”
Kami
tertawa.
Tangan-tangan
masih bergandengan di halaman.
Di
beranda, kulihat Mas Dika sendirian. Mas Awan tidak datang.
Musik
terus bermain.
Setelah
lagu yang kesekian berakhir, aku mendengar suara Dimas, “Sebenarnya ada satu lagi yang ingin kuajak naik ke panggung. Dia orang
yang sangat kusayangi, dan pada dasarnya kami juga tak terpisahkan. Aku ingin
perkenalkan secara resmi saudara kembarku: Denis. Mana dia....?”
Mereka
tak akan menemukanku di sana. Sebab aku di taman belakang bersama Maya. Kami
mengobrol tentang rencana kuliah dan apa saja. Sambil melihat bintang-bintang. :)
to be continued ....
NB: Layangkan komentarmu DI SINI.